China Moon - Memandang Orang Tionghoa Dari Sisi Lain
Minggu, 12 November 2023 18:23 WIBChina Moon adalah kumpulan cerita tentang orang Tionghoa yang dieditori oleh Sujiwo Tejo. Dalam cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini, kita bisa melihat orang Tionghoa sebagai orang biasa.
Judul: China Moon
Editor: Sujiwo Tejo
Penulis: Dinar Rahayu, dkk.
Tahun Terbit: 2003
Penerbit: Eksotika
Tebal: 136
ISBN: 979-971-148-1-8
Membaca para penulis cerpen yang terkumpul dalam buku ini membuat saya langsung tertarik untuk memilikinya. Kumpulan cerpen bercover warna merah jambu ini memuat karya-karya sastrawan yang karyanya sudah terpampang di berbagai penerbit terkenal.
Siapa tak kenal Dinar Rahayu, Yanusa Nugroho, Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Reda Gaudiamo, Tommy Awuy, Djenar Maesa Ayu, Richard Oh dan Veven Sp. Wardhana. Apalagi editor yang tercantum adalah Sujiwo Tejo si Dhalang Mbeling.
Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam buku ini bukanlah cerpen yang ditulis untuk tujuan disatukan dalam sebuah buku kumpulan. Cerpen-cerpen ini sudah ditulis dan diterbitkan sebelumnya. Cerpen-cerpen tersebut dipilih, diseleksi oleh tim Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) dan kemudian dieditori oleh Sijiwo Tejo.
Cerpen-cerpen yang disatukan dalam buku ini pasti diseleksi dengan sangat baik sehingga memiliki benang merah yang kuat. Cerpen-cerpen tersebut mengungkapkan bahwa keluarga Tionghoa adalah keluarga yang mempunyai persoalan-persoalan yang sama dengan keluarga-keluarga dari suku/etnis apapun. Mereka ini menghadapi persoalan-persoalan sehari-hari yang bisa menimpa siapa saja. Jadi, kecuali cerpennya Veven dan Putu Wijaya, para tokoh dalam cerpen-cerpen ini menghadapi persoalan bukan karena dia Cina.
Cerpen Dina Rahayu yang berjudul “Laobaixing – Berahi Milik Siapa?” mengisahkan seorang ibu yang giat bekerja harus menghadapi anak remajanya yang menghamili pembantu. Apakah remaja yang menghamili pembantu terjadi karena si remaja adalah Cina? Tentu saja tidak!
Yanusa Nugroho dalam cerpennya berjudul “Persik” mengisahkan seorang ibu yang kecewa kepada suaminya. Kekecewaannya membuat dia memaksa anak gadisnya menikah dengan pemuda dari keluarga kaya. Apakah seorang Wanita yang dikecewakan suaminya dan memaksa anak gadisnya supaya tidak bernasip seperti dirinya hanya terjadi kepada perempuan Cina? Tentu saja tidak!
“Nio” karya Putu Wijaya mengisahkan seorang gadis Tionghoa yang lebih memilih menjadi seorang penari dan tidak taat pada keinginan ayahnya yang ingin dia menikah dengan seorang kaya. Nio yang lebih senang dipanggil Nia akhirnya mampu hidup sebagai seorang penari. Apakah anak-anak yang memilih jalan hidupnya sendiri itu hanya anak-anak Cina? Tentu saja tidak!
“Ketophrak Sampek Kentaek, Solo 1950” karya Sapardi Djoko Damono memang mengambil akar cerita dari kisah Sampek Engtai. Demikian juga dengan cerpen “Menantu” karya Reda Gaudinamo yang mengisahkan persoalan pernikahan beda status sosial yang dihubungkan dengan isu rasial. Tetapi apakah persoalan pasangan yang dipisahkan karena status sosial hanya terjadi di kalangan orang Tionghoa? Tentu saja tidak!
Tentang fantasi bercinta dengan bintang film, seperti yang dialami oleh A Sen dalam cerpen berjudul “Tidur Dengan Gong Li” karya Tommy Awuy bisa dihadapi oleh siapa saja. Fantasi seperti itu bukan terjadi karena si pemuda tersebut bernama A Sen. Bukankah begitu?
Tentang gadis yang tak percaya diri karena dadanya tipis, seperti yang diuraikan oleh Djenar Maesa Ayu dalam cerpennya berjudul “Payudara Nai-Nai” bisa terjadi pada etnis apapun. Dada tipis bisa menimpa gadis dari etnis mana saja. Bukankah begitu?
Seperti telah saya sampaikan di atas, hanya ada dua cerpen yang benar-benar berhubungan dengan masalah Cina. Pertama adalah cerpen “Nio” karangan Putu Wijaya dan kedua adalah “Purnama di Kanal De Rijn” karya Veven Sp Wardhana. Putu Wijaya yang berkisah tentang gadis Tionghoa yang lebi memilih menjadi penari di Jakarta, menjadi korban perkosaan pada kerusuhan Mei 1998. Nio yang lebih suka dipanggil Nia menjadi korban perkosaan karena dia Cina. Sedangkan Veven mengisahkan seorang pemuda Tionghoa yang kuliah ke Belanda dan berpacaran dengan gadis Amerika Latin tetap dihantui pesan opa dan papanya. Opa berpesan “Kamu boleh menuntut ilmu ke negeri mana pun, tapi jangan lupa kamu tetap Cina.” Sementara sang papa berpesan: “bukan hanya jangan sampai kamu dapat perempuan beda agama, tapi juga jangan lain Wangsa.”
Karena cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku ini adalah tentang hidup orang Tionghoa, maka tanda-tanda ketionghoaan muncul di semua cerpen. Paling tidak nama tokoh utamanya adalah orang Tionghoa. Kisahnya pun dihiasi dengan budaya yang masih dianut oleh para Tionghoa di Indonesia. Namun seperti yang saya jelaskan di atas, cerpen-cerpen ini mengajak kita untuk merenungi bahwa orang Tionghoa juga mengalami permasalahan hidup yang sama seperti etnis lain.
Benar apa yang disimpulkan oleh Sujiwo Tejo di pengantar. Melalui cerpen-cerpen ini Sujiwo Tejo mengoreksi pandangannya tentang orang Cina yang melekat di benaknya sejak kecil. Cina ternyata bisa romantic, Cina ternyata bisa miskin. Cina ternyata bisa melontar prasangka buruk kepada pelontar prasangka. Ternyata orang Tionghoa juga bisa jatuh cinta kepada etnis lainnya. Sebab cinta tak ditemboki oleh etnis, ras dan agama. 796
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Merah Putih Golek Kencana - Peran Orang Tionghoa di Masa Perjuangan Kemerdekaan
Rabu, 17 Januari 2024 12:48 WIBAssalamualaikum Beijing - Ketika Cina bertemu dengan Islam dalam Cinta
Minggu, 14 Januari 2024 16:17 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler